Hal
pertama-tama apa saja yang diciptakan oleh Allah, sehubungan dengan nur Allah
dan nur Muhammad?
Jawaban
dan penjelasan tema dari pertanyaan ini meliput beberapa aspek, yaitu :
a.
Mengenai
di mana keberadaan Allah sebelum menjadikan sesuatu,
b.
Mengenai
apa saja pertama-tama yang dijadikan Allah,
c.
Mengenai
apa itu nur Allah,
d.
Mengenai
apakah nur Muhammad itu,
e.
Dan
mengenai apakah nur Muhammad itu awal kejadian makhluk.
Pertanyaan-pertanyaan
di atas merupakan pertanyaan mengenai alam gaib. Maka jawabnya diperlukan dari
orang-orang yang terbuka padanya alam gaib. yaitu dari kalangan Nabi dan Rasul
dan para waliyullah atau orang-orang yang ada di bawah mereka yang relatif
mengetahui referensi gaib tentang alam itu.
a.
Keberadaan Allah sebelum menjadikan sesuatu.
Sehubungan
dengan itu Amir bin Uqaili. bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, "Ya Rasul
Allah, aku bertanya, "Di mana Tuhan kita sebelum menjadikan langit dan
bumi?" Maka Beliau menjawab, "Pada waktu itu Tuhan berada di sebuah
awan/mendung, di atasnya terdapat hawa dan di bawahnya juga terdapat hawa.
Kemudian Allah menjadikan 'Arasynya di atas air."
Dari
pernyataan Hadis di atas dapat diketahui bahwa keberadaan Allah adalah Dzat
Yang Maha Tersembunyi lagi Maha Gaib. Pada dasarnya tidak ada yang mampu
meliput Allah atau melihat keberadaan Allah dengan mata telanjang. Sebab telah
dinyatakan dalam firmannya, surat al-An'aam ayat 103 yang artinya : Dia tidak
dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat meliputi segala
penglihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Dan
penggalan ayat 255 surat al-Baqoroh yang artinya: Allah mengetahui apa-apa yang
di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu
pun dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.
Berdasarkan
kedua ayat di atas, maka Allah itu dapat dipastikan wujudnya, akan tetapi
sosok, rupa dan bentuknya masih diliputi dengan misteri, rahasia dan teramat
halus lagi samar dan tersembunyi. Dia mempunyai sifat-sifat yang Maha Sempurna
dan jauh dari sifat-sifat kekurangan. Tidak ada sesuatu yang berada di alam ini
dari segala ciptaannya yang menyerupai dengannya di dalam kekuatan, keindahan
ciptaan-Nya dan kesempurnaan wajah-Nya.
Nabi
Musa dalam usahanya pada suatu waktu ingin bertemu/ melihat Tuhan. Nabi Musa AS
bermunajat di gunung Thur Sina pernah memohon kepada Allah SWT agar ia bisa
melihat Tuhannya dengan mata kepalanya sendiri sehingga percakapannya dengan
Tuhan tidak terhalang oleh tabir. Ia berkata "Wahai Tuhan, perlihatkanlah
diri-Mu kepadaku, supaya aku dapat memandang-Mu!" Maka Allah SWT menjawab
berikut :
لَنْ
تَرَانِى ياَ مُوسَى ِلأَنَّكَ إِذاَ كُنْتَ مَوْجُوْدًا فَأِناَّ مَفْقُوْدٌ عَنْكَ، وَإِنْ وَجَدْتَنِى فَأَنْتَ مَفْقُوْدٌ ، وَلاَ يُمْكِنُ ِللْحَادِثِ أَنْ يَثْبُتَ عِنْدَ ظُهُوْرِ اْلقَدِيْمِ
Artinya:
Engkau tidak akan dapat melihat-Ku, wahai Musa, karena bila engkau ada. Maka
Aku hilang dari pandanganmu. Dan bila engkau ketemu Aku, maka engkau hilang
(tiada). Dan tidak mungkin bagi yang baharu bisa tetap ada, ketika tampaknya
Dzat Yang Maha Qodim.
Nabi
Musa tidak mampu menatap wajah Tuhan dengan mata biasa. Untuk itu ia harus
masuk alam bawah sadar atau fana. Dalam keadaan ini, Nabi Musa dalam alam
kasyaf/fana, dalam situasi tak sadarkan diri, semaput, karena Allah bertajalli
padanya lewat gunung (thur Sina) yang bergempa. Maka setelah siuman. Ia
mengucapkan kata tasbih, terheran, takjub dari melihat Wajah Tuhan, kemudian
bertobat dan menyatakan beriman yang pertamanya selama hidupnya.
Peristiwa
tersebut dapat diabadikan di dalam ayat 143 surat al-A'raaf yang artinya: Dan
tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berbicara (langsung) kepadanya, berkatalah Musa:
"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat
kepada Engkau". Maka Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup
melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai
sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan
diri kepada gunung itu, maka Allah jadikan gunung itu hancur luluh, dan Musa
pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, "Maha
suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama
beriman".
Kendatipun
demikian ada sedikit ilmu Allah yang telah diberikan kepada hambanya
berdasarkan ayat 255 surat al-Baqoroh di atas, dan ayat 28-30 surat al-Jin
berikut.
Artinya:
(Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada
seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka
Sesungguhnya Dia Mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di
belakangnya. Supaya Dia mengetahui, bahwa Sesungguhnya Rasul-rasul itu telah
menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi
apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu dengan hitungan
cermat.
Hal
ini dimaksudkan sebagai pengecualian untuk orang-orang tertentu dari kalangan
hambanya, bahwa mereka dapat karunia dari Allah. Mereka dapat melihat wajah
Tuhan sewaktu mereka di alam tajalli di alam dunia. Pengecualian itu sesuai
dengan sifat Allah yang tersembunyi itu bukan dibiarkan tetap tersembunyi, melainkan
supaya dikenal oleh para makhluk-Nya, maka menjadikan suatu makhluk yang
istimewa, makhluk perantara sebagai tempat dan alat untuk mengenal-Nya, karena
padanya dititipkan sifat-sifat, asma dan af'al-Nya. Maka dengan mengenal
makhluk ini, berarti mereka mengenal Tuhan. Pernyataan ini sesuai dengan bunyi
hadis Qudsi yang artinya, "Aku adalah bagaikan perbendaharaan yang
tersembunyi, maka Aku menghendaki supaya Aku dikenal, karena itu Aku menjadikan
makhluk, lalu Aku memperkenalkan (sifat-sifat, asma dan af'al diriku) kepada
mereka. Dengan mengenal mereka, maka makhluk/manusia lain mengenal Aku.
Perlu
ditegaskan di sini bahwa para Nabi, Rasul dan wali mengenal dan menemukan Allah
itu di alam fana mereka dan di alam baqa'nya Tuhan. Maka di alam itu Allah bertajalli/menampakkan
diri pada mereka. Mereka senantiasa diliputi alam kasyaf, yakni tersingkapnya
alam gaib/alam bertirai bagi mereka, menjadi alam yang terang benderang. Alam
yang bagi orang lain masih dirasa sebagai alam yang gelap bahkan alam yang hitam
pekat (dhulumat), namun bagi para Nabi, Rasul menjadi alam yang transparan.
Dengan kejadian ini maka dapat di simpulkan bahwa Tuhan itu oleh orang-orang
khusus dapat dilihat di dunia ini. Dan ini tidaklah mustahil, melainkan
termasuk perkara yang jaiz atau wenang. Dan kalau mustahil maka Nabi Musa tidak
mungkin akan memohon kepada Allah barang yang mustahil. Sayyidina Ali RA sering
mengalami fana atau wuquf dalam aktivitas dzikirnya untuk bertemu Tuhannya, ia
berdialog dengan-Nya di alam fana, mengatakan:
وَفِى
فَنَائِى فَنَا فَنَائِى وَفِى فَنَائِى وَجَدْتُ أَنْتَ
Artinya;
Di dalam alam fanaku, leburlah aku. Dan dalam keadaan lebur itu, aku bertemu
Engkau Tuhan.
b.
Pertama-tama yang dijadikan Allah.
Keterangan
suatu Hadis Rasul riwayat Ibnu Abbas RA, Beliau bersabda:
أَنَا
مِنْ نُوْرِ اللهِ وَخَلَقَ الَخَلْقَ كُلَّهُمْ مِنْ نُوْرِيْ
Artinya:
ٍSaya
adalah berasal dari nur Allah dan Allah menjadikan semua makhluk bersal dari
nurku.
Amir
bin Uqaili bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, "Ya Rasul Allah, aku berkata,
di mana Tuhan kita sebelum menjadikan langit dan bumi?" Maka Beliau
menjawab, "Pada waktu itu Tuhan berada di sebuah awan/mendung, di atasnya
terdapat hawa dan di bawahnya juga terdapat hawa. Kemudian Allah menjadikan
'Arasynya di atas air."
Ini
tidak berarti bahwa 'Arasy itu makhluk pertama yang di jadikan Allah. Lalu apa
yang dijadikan Allah sebelum menjadikan 'Arasy? Jawabnya berselisih di antara
ulama, karena banyak hadis yang meriwayatkan secara berbeda mengenai apa yang
pertama kali dijadikan Allah, di antaranya adalah:
1.
Ada hadis riwayat at-Tirmidzi, dari Ubadah bin Shomit, ia berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda: Pertama-tama dari segala sesuatu yang dijadikan Allah
adalah pena terbuat dari cahaya, menurut riwayat lain, terbuat dari intan
gemerlap putih, yang panjangnya antara langit dan bumi. Kemudian setelah itu
Dia menjadikan Lauh al-Mahfud yang terbuat dari mutiara putih, lembarannya
terbuat dari batu yaqut merah, panjangnya antara langit dan bumi, sedang
lebarnya antara penjuru timur bumi dan penjuru baratnya.
2.
Ada hadis lain, Rasulullah mengatakan, "Pertama-tama dari sesuatu yang
dijadikan Allah adalah akal. Lalu Allah berkata kepadanya, "majulah,"
maka ia pun maju, dan berkata lagi kepadanya, "mundurlah," maka akal
itu pun mundur." (Ihya' al-Gozali, bab ilmu jilid ke-1 dan bab makna jiwa,
ruh, hati dan akal, jilid ke-3).
3.
Menurut banyak ulama bahwa pertama-tama makhluk yang dijadikan Allah sebelum
wujudnya alam ini adalah Nur Nabi Muhammad SAW. Nur Muhammad ini berasal dari
nur Allah SWT. Pernyataan ini didasarkan pada hadis Nabi sebagai berikut:
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قاَلَ، قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ، بأبى أنت وأمى! أَخْبِرْنِى عَنْ أَوَّلِ شَْئٍ خَلَقَهُ الله ُقَبْلَ ْالاَشْيَاءِ؟ قَالَ يَا جَابِرُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى خَلَقَ قَبْلَ ْالاَشْيَاءَ نُوْرَ نَبِيِّكَ مِنْ نُوْرِهِ
...رواه عبد الرزاق بسنده.Artinya: Hadis riwayat Jabir bin Abdillah RA, ia berkata, Aku berkata, wahai Rasulullah, Ceritakanlah tentang awal perkara yang Allah ciptakan sebelum segala sesuatu ! Maka Rasul berkata, "Wahai Jabir, Sesungguhnya Allah Taala sebelum segala sesuatu, Ia menciptakan Nur Nabimu, yang berasal dari Nur-Nya. (HR Abdur Rozzaq, dengan sanadnya sendiri).
Keterangan senada juga telah dibahas dalam kitab al-Mawahib al-Laduniyah, jilid 1 halaman 8, bahwa awal perkara yang dijadikan Allah adalah nur Muhammad. Pendapat ini didukung kebanyakan oleh para ahli tasawuf termasuk Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Dan aku pun cenderung dengan pendapat ini. Apa lagi ada hadis riwayat Abdullah bin Amru bin Ash RA menyatakan, "Sesungguhnya Nabi bersabda: Sungguh Allah menulis taqdir makhluk, jauh selama 50 ribu tahun sebelum menjadikan beberapa langit dan bumi, dan 'Arasy-Nya itu di atas air, dan termasuk yang ditulis di dalam al-Dzikir, yakni Induk Kitab bahwa Nabi Muhammad adalah pemungkas para nabi. (Hadis keluaran Muslim)
Juga ada hadis Nabi mengatakan, "Awal perkara yang dijadikan Allah adalah Nur-ku, sedang Allah meciptakan makhluk seluruhnya bersal dari Nurku." Dalam hal ini seluruh makhluk termasuk para makhluk penghuni langit: 'Arasy, Qolam, Lauhul Mahfud dan para malaikat pembawa 'Arasy, serta malaikat-malaikat lainnya; Jibril, Mikail, Israfil, Izrail dan seterusnya. Dari ruh itu pula diciptakan surga, neraka. Dan para makhluk penghuni bumi, baik yang hidup maupun yang mati: batu, air, udara, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia biasa, manusia para nabi, rasul, jin, syetan, dan sebagainya.
Muhammad
Alwi bin Abbas al-Maliki al-Husaini mengomentari pernyataan Abdur Rahman bin Ad
Diba' dalam kitab As-Siirah An-Nabawiyah, halaman 18 yang berbunyi sebagai
berikut: "Maha suci Allah Taala yang telah menjadikan nur Nabi Muhammad
SAW yang berasal dari nur-Nya sebelum menjadikan nabi Adam yang terbuat dari
tanah liat."
Syaikh
Abdul Qodir al-Jaelani dalam bukunya, Sirrul Asraar pada bagian Mukoddimah
mengatakan, "Allah Taala dalam hadis Qudsi berfirman, "sesungguhnya
Aku(Allah) menciptakan ruh Muhammad itu bersal dari Nur Wajahku." Beliau
juga mencoba membahas tentang awal kejadian makhluk. Ia mengatakan, ada empat pernyataan/keterangan
hadis mengenai makhluk yang pertama yang dijadikan Allah, bahwa pertama kali
yang diciptakan Allah di alam ini adalah ruh Muhammad. Ada lagi hadis
mengatakan, bahwa pertama kali yang diciptakan Allah adalah nur Muhammad. Ada
bunyi Hadis mengatakan bahwa yang pertama kali diciptakan Allah adalah akal.
Ada lagi hadis yang mengatakan bahwa pertama kali yang dicipta oleh Allah
adalah pena.
Syaikh
Abdul Qodir al-Jaelani mencoba mengompromikan dan mendekatkan
perbedaan-perbedaan isi hadis di atas. Menurut dia bahwa isi
pernyataan-pernyataan dari keempat hadis di atas kelihatannya berbeda satu
dengan lainnya, tetapi bila dicermati, semua itu mengarah kepada satu
pengertian yang merupakan benang merah, yaitu hakikat Muhammad, karena hakikat
Beliau itu mempunyai fungsi dan predikat yang bermacam-macam. Hakikat Muhammad
itu disebut juga dengan ruh, karena ia inti/jiwa dari segala sesuatu. Hakikat
Muhammad disebut dengan nur, karena ia bercahaya-cahaya, bersih dan tiada noda,
ia memberi cahaya isi langit dan bumi. Hakikat Muhammad dapat juga disebut
dengan akal, karena ia mampu meliput segala apa yang menjadi isi langit dan
bumi pada masa dulu, sekarang dan yang akan datang. Hakikat Beliau dapat pula
disebut dengan pena (qalam), karena ia mampu mewujudkan dan menjabarkan ilmu
tentang segala sesuatu.
Syaikh
yang pernah menjadi wali Qutub di masanya itu, menambahkan bahwa Ruh atau nur
Muhammad merupakan inti/awal kejadian alam ini dan asal semua makhluk. Maka
dari ruh Muhammad itu, Allah menciptakan seluruh ruh manusia dan seluruh isi
langit-bumi ini. Penciptaan ruh-ruh manusia itu berlangsung di alam Lahut
(Robbani) atau di alam penciptaan yang terbagus (ahsani at-taqwiim), yang
merupakan negeri asal ruh-ruh tersebut. Allah menciptakan 'Arasy juga dari nur
Muhammad ini. Dengan melihat asal ruh, maka Nabi Muhammad adalah bapak ruhani
anak-anak Adam, sedang Beliau adalah asal-muasal segala penciptaan alam ini.
c.
Pengertian tentang Nur Allah.
Mengingat
bahwa nur Nabi Muhammad itu tercipta dari nur Allah, maka di sini mengenai nur
Allah dapat di kemukakan sedikit penjelasan yang dapat diketahui manusia secara
akal sesuai dengan kemampuannya. Dan sesuai dengan beberapa istilah nur yang
termuat dalam beberapa ayat al-Qur'an. Karena pada dasarnya manusia tidak mampu
mengetahui apa hakekat dan sebenarnya nur Allah itu. Hal ini mungkin sama
dengan pengetahuan manusia mengenai ruh atau nyawa. Jelas manusia tidak banyak
mengenal ruh, kecuali mengenal sedikit saja mengenai hakikat ruh itu.
Nur
Allah dapat digambarkan dalam untaian kata dan kalimat dalam al-qur'aan surat
an-Nur ayat 35 yang artinya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di
dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, Kaca itu seakan-akan
bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dari pohon yang
diberkati, (yaitu) pohon zaitun yang tak bersifat timur dan tidak pula bersifat
barat, yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh
api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya bagi siapa yang
Dia kehendaki. Dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Untuk
memahami perumpamaan nur Allah pada ayat tersebut tidaklah termasuk perkara
mudah, tetapi tergantung dari tingkat kepandaian orang dalam menangkap isyarat
tersebut. Juga tergantung kepada seberapa jauh orang dibukakan oleh Allah
secara laduni mengenai nur-Nya. Karena nur Allah itu termasuk urusan gaibiah
maka hanya Dialah yang mengetahui hakikat nur itu.
Di
sini akan dicoba di kemukakan beberapa makna istilah mengenai nur Allah dalam
beberapa ayat al-Qur'an di bawah ini. Nur Allah dapat diartikan dengan:
a.
Agama Allah (Islam), seperti dalam surat Saff ayat 8 yang artinya: Mereka ingin
memadamkan Agama Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru)
menyempurnakan Agama-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.
b.
Sinar atau cahaya putih yang memancar dari anggota badan yang diberikan kepada orang
mukmin sebagai penerang, sewaktu berjalan di negeri akhirat, seperti penggalan
dalam surat at-Tahrim ayat 8 yang artinya: Pada hari ketika Allah tidak
menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka
memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan:
"Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami;
sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Nabi
Musa pernah ditugasi dakwah kepada Firaun dengan dilengkapi beberapa mukjizat
di antaranya ialah tangannya dapat mengeluarkan sinar putih yang sangat terang
yang dapat membelalakkan mata Raja Firaun dan rakyatnya. Sinar itu secara jelas
dapat ditangkap dengan indera mata kepala di kalangan mereka. Penampakan
kekuasaan Allah yang luar biasa itu supaya mereka beriman kepada Musa, bahwa ia
adalah utusan Allah dan apa yang dibawa olehnya adalah benar adanya kemudian
diikuti. Sinar yang keluar dari tangan Nabi Musa itu merupakan sebagian sinar
Allah wujud lahir. Peristiwa ini telah diabadikan di dalam al-Qur'an surat
al-Qosos ayat 32 dan surat an-Naml ayat 12. Adapun yang an-Naml berbunyi yang
artinya: Dan masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia akan keluar sinar
putih bukan karena penyakit belang. (Mukjizat ini) termasuk sembilan ayat-ayat
(tanda-tanda kebesaran Tuhan) yang akan ditunjukkan kepada Fir'aun dan kaumnya.
Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik."
Hadis
riwayat dari Anas RA menceritakan bahwa Usaid bin Hidhir dan Ubad bin Bisyr
berada di sisi Rasulullah SAW pada suatu malam yang gelap lagi pekat, maka
mereka omong-omong di samping beliau. Setelah mereka keluar dari sisi beliau,
maka salah satu tongkat mereka bersinar. Mereka berjalan di dalam sinar itu.
Setelah mereka berpisah jalan, kedua buah tongkat itu masing-masing
mengeluarkan sinar untuk mereka, sehingga mereka berjalan di bawah sinar
tongkat masing-masing.
c.
Kitab Allah, yaitu kitab al-qur'an, seperti dalam firman Allah surat al-Nisa'
ayat 174 yang artinya: Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
bukti/dalil dari Tuhanmu. Dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya (Al Quran)
yang menerangi.
d.
Hidayah Allah, seperti dalam firman Allah surah as-Syuraa ayat 52 yang artinya:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu suatu ruh (al-Quran) dari urusan Kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui: Apakah itu al-kitab (al-Quran) dan Apakah
iman itu, tetapi Kami menjadikan Ruh itu sebagai hidayah/penuntun, yang Kami
tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
e.
Nabi Muhammad, seperti dalam surat al-Maidah ayat 15 yang artinya: Hai ahli
Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu
banyak dari isi al-kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang)
dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya (ruh Muqoddasah
Muhammad) dari Allah, dan kitab yang menerangkan.
Nur
Allah diartikan sebagai Nabi Muhammad (nur Muhammad) ini sebagaimana yang
banyak di kemukakan oleh banyak ulama, seperti pendapat pengarang kitab tafsir
at-Thobari, pendapatnya Imam Ibnu Hatim dan Imamal-Qurthubi. Demikian juga
pendapat Qatadah RA bahwa makna an-Nuur adalah Nabi Muhammad SAW.
Nur
Muhammad dan wujud pancarannya.
Abdul
Qadir al-Jailani menamakan nur Muhammad ini dengan ruh Muhammad atau Hakekat
Muhammad. Hal ini sesuai hadis Qudsi yang berbunyi: "Sesungguhnya Aku
menciptakan ruh Muhammad itu berasal dari Nur Wajahku."
Ahmad
al-Ghumusykhonuwi, dalam kitabnya: Jami' al-Ushul fil-Auliya' menamakan nur
Muhammad ini dengan Ruhul A'zhom. Ia adalah nyawa suci yang merupakan
penampakan dzat Tuhan, bila dilihat dari segi rububiyahnya (ketuhanannya). Ia
tidak dibatasi dan tidak dapat ditembus oleh apapun. Tiada yang mengetahui
hakikat ruh ini kecuali Allah sendiri. Ruh ini dinamakan dengan "Akal
Pertama", disebut juga dengan "Hakikat Muhammad", disebut juga
dengan "Jiwa Pertama", dan disebut juga dengan "Hakikat Asma
Allah." Ruh ini merupakan wujud awal ciptaan Allah menurut gambarnya. Ruh
ini adalah khalifah Allah terbesar, adalah mutiara cahaya Tuhan, dan inti/awal
mula kejadian alam dan isinya. Ruh Teragung di alam ini menampakkan
ciptaan-ciptaan Tuhan yang bermacam-macam gerak, sifat, nama dan tingkat
kesempurnaan kejadiannya.
Semua
yang tampak di alam ini merupakan gambaran wujud ruh itu, yang termasuk di
dalamnya adalah wujud manusia Adam. Manusia ini merupakan ciptaan yang paling
sempurna. Ia diciptakan menurut gambar Allah SWT. Pada jiwanya dan jasadnya
dititipkan perbuatan (af'al) Tuhan, asma dan sifat-sifat-Nya yang dapat dikenal
dan dihubungi. Karena itu ada hikmah ulama mengatakan, Siapa mengenal dirinya,
maka berarti ia mengenal Tuhannya.
Dilihat
dari pembahasan ruh, Syaikh Abdul Karim al-jili dalam kitabnya: Al-Insan
Al-Kamil menamakan ruh (nur) Muhammad ini dengan Ruh al-Qudus dan terkadang ia
mengistilahkannya dengan Nafsu/Jiwa Muhammadiah. Ia adalah asal-muasal ruh-ruh.
Ruh ini terbebas dari komando perintah "Kun". Maka dari itu ia tidak
boleh dimasukkan sebagai makhluk, karena sesungguhnya ia adalah wajah khusus
dari wajah-wajah Allah yang Maha Haq, yang ditempati oleh segala yang wujud. Ia
adalah Ruh, tetapi tidak seperti ruh-ruh lainnya. Karena ia merupakan ruh Allah
SWT. Ruh inilah yang ditiupkan kepada Nabi Adam AS seperti dalam Surat al-Hijr
ayat 29, atau Surat Shaad ayat 72 yang artinya: Maka apabila aku telah
menyempurnakan kejadiannya (Adam), dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka
mereka tunduk kepadanya dengan bersujud.
Dengan
demikian ruh Adam adalah makhluk, sedang Ruh Allah adalah bukan makhluk. Ruh
inilah disebut dengan Ruh Quds, yakni ruh yang suci dari kekurangan-kekurangan
duniawi. Ruh ini digambarkan sebagai wajah-wajah ketuhanan pada para makhluk.
Hal ini seperti yang diisyaratkan oleh ayat 115 pada Surat al-Baqoroh yang
artinya: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu
menghadap, maka di situlah terdapat wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.
Maksudnya,
di mana saja kalian mengarahkan dengan segenap indera kalian atau dengan
pikiran pada benda-benda yang dapat dijangkau, maka di dalam benda-benda itulah
terdapat wajah Allah, yang merupakan ruhul Quds. Jadi Dalam Ruhul Quds, Allah
Taala menempatkan padanya apa-apa yang wujud di alam ini. Ruhul Quds menjadi
nyata dan sempurna pada segala yang wujud, dan wujud ini merupakan Wajah Ilahi.
Wajah Ilahi pada segala sesuatu adalah Ruh Allah, sedangkan Ruh Allah pada
segala sesuatu tidak lain adalah diri Allah sendiri. Maka wujud ini berdiri
dengan diri Allah, sedang diri Allah adalah Dzatnya.
Jadi
menurut Abdul Karim al-Jili, setiap sesuatu yang dapat ditangkap dengan indera
di alam ini, mempunyai ruh ciptaan yang tampak dengannya wujud/gambarnya.
Fungsi ruh bagi benda-benda tersebut bagaikan makna bagi kata. Kemudian pada
ruh benda yang diciptakan itu, terdapat ruh Ilahiah (ruh Tuhan) yang menopang
ruh benda yang bersifat makhluk tersebut. Ruh Ilahiah itulah Ruhul Quds.
Di
samping itu, Abdul Karim al-Jili menamakan Hakikat Muhammad (nur Muhammad)
dengan Malaikat Ruh dari segi alam kemalaikatan. Ia di alam ini dinamakan pula
dengan al-Haq, atau makhluk yang diciptakan untuk berbuat yang benar. Allah SWT
memandang pada Malaikat ini sebagai memandang pada Diri sendiri. Ia menciptakan
malaikat Ruh ini dari nurnya, dan seterusnya menciptakan seisi alam ini dari
malaikat Ruh atau hakikat Muhammad ini. Malaikat inilah yang dijadikan sebagai
tempat pandangan-Nya di alam ini. Termasuk salah satu nama dari beberapa nama
yang disandangnya adalah "amrullah". Malaikat ini termulia, tertinggi,
teragung kedudukannya, sehingga tidak ada malaikat yang menduduki pangkat di
atasnya. Ia merupakan pemimpin para "Muqorrobin" (para malaikat yang
dekat dengan Allah), dan paling utama di antara malaikat yang utama. Allah SWT
mengitarkan segala yang wujud ini padanya. Ia sebagai pusat putaran atau poros
berputar segala makhluk di jagat raya.
Di
samping benda-benda ciptaan Allah lainnya, ia mempunyai wajah khusus yang
sesuai dengannya. Juga dalam martabat atau tingkatan yang diwujudkan Allah.
Baginya ada delapan rupa, mereka adalah para membawa 'Arasy Tuhan. Dari padanya
Allah menciptakan para malaikat dengan segenap unsur-unsurnya. Maka bandingan
mereka terhadap malaikat Ruh dapat diumpamakan beberapa tetes air dengan air
lautan. Bandingan malaikat delapan pembawa 'Arasy dengan Malaikat Ruh itu
bagaikan delapan penyanggah wujudnya manusia dengan ruhnya. Penyanggah itu
adalah akal, waham (persangkaan), pikir, hayal, pembentuk, pemelihara, penemu,
dan nafsu (keinginan)nya.
Karena
Malaikat Ruh inilah, Allah SWT menciptakan sesuatu di ufuk, di alam Jabarut,
alam Malakut, alam Lahut/ Robbani dan alam mulki sebagai tanda keTuhanan, yang
semuanya termanifestasi dari Hakikat Muhammad. Karena itu, Nabi Muhammad SAW
merupakan manusia yang paling utama, karena nikmat yang diberikan Allah SWT
kepadanya berupa ruh yang mempunyai multi guna. Kegunaan-kegunaan itu antara
lain: mengajari Kitab al-Qur'an, meningkatkan derajat iman, menyinari kalbu
diri sendiri dan kalbu orang-orang yang dikehendaki Allah mendapat hidayah.
Firman Allah tercantum dalam surat as-Syuro, ayat 52 yang artinya: Dan
demikianlah Kami wahyukan kepadamu suatu ruh (al-Quran) dari urusan Kami.
Sebelumnya
kamu tidaklah mengetahui: Apakah itu al-kitab (al-Quran?) dan Apakah iman itu?
Tetapi Kami menjadikan Ruh itu sebagai cahaya, yang Kami tunjuki dengannya
siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu
benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Selanjutnya
ketahuilah bahwa Allah menjadikan Malaikat ini sebagai cermin untuk Dzatnya,
yakni Allah tidak menampakkan Zatnya kecuali pada malaikat ini. Sedangkan
penampakan-Nya pada segenap makhluk ini merupakan penampakan sifat-sifat-Nya.
Malaikat ini adalah qutub/poros benda-benda yang berada di alam duniawi dan
alam ukhrowi, menjadi kutub bagi penduduk langit dan bumi. Juga menjadi kutub
bagi ahli surga, ahli neraka, dan ahli a'raf (tempat antara surga dan neraka).
Telah
ditetapkan oleh hakikat Ilahiah di dalam ilmu Allah SWT bahwa Ia tidak mencipta
sesuatu kecuali bagi Malaikat Ruh pada sesuatu itu terdapat wajah, yang setiap
makhluk atau sesuatu itu mengitari wajah malaikat ini, karena ia merupakan
qutub mereka. Malaikat ini tidak memperkenalkan diri kepada siapa pun dari
makhluk-makhluk Allah kecuali kepada manusia yang berpangkat 'Insan al-Kamil'
(Manusia Sempurna). Maka apabila seorang waliyullah mengenalnya, maka malaikat
ini mengajarinya beberapa ilmu (ketuhanan), dan bilamana dengan ilmu-ilmu
tersebut, ia mencapai derajat tahkik (hakikat), maka ia menjadi Wali Qutub.
Bila mana ia menjadi wali qutub, maka segala yang wujud ini mengitari wali
tersebut. Wali ini sebagai ganti malaikat ruh dari segi kedudukan dan
kequtubannya di alam wujud ini. Jadi kedudukan kemalaikatan dan kequtuban wali
ini meminjam atau mengganti kedudukan dan kequtuban Malaikat Ruh itu. Malaikat
inilah yang dituturkan dalam al-Qur'an surat an-Naba' ayat 38 yang artinya:
Pada hari Ruh dan para Malaikat berdiri bershaf, mereka tidak berkata-kata,
kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Yang Maha Pemurah; dan ia
mengucapkan kata yang benar.
Apabila
Allah memerintahkan pelaksanaan sesuatu perkara di alam ini, maka Ia membuat
darinya seorang malaikat yang sesuai dengan perkara itu, maka ar-Ruh
mengutusnya untuk berbuat sesuai perintahnya. Semua malaikat Muqorrobin seperti
Isrofil, Jibril, Mikail dan Izroil diciptakan dari ar-Ruh/an-Nur ini. Demikian
pula malaikat-malaikat yang berpangkat di atas mereka, yang tergolong
"Aaluun", yaitu antara lain, malaikat yang dinamakan dengan an-Nun,
yang bertempat di bawah Lauhil Mahfud, seperti juga malaikat yang dinamakan
dengan al-Qolam; malaikat yang bernama Mudabbir, yaitu yang bertempat di bawah
al-Kursiy; dan malaikat yang bernama al-Mufassil, yaitu yang bertempat di bawah
al-Imam al-Mubin.