Bismillahirrahmanirrahiim…
Adapun Mubadi ilmu tauhid itu sepuluh perkara:
Adapun Mubadi ilmu tauhid itu sepuluh perkara:
1. Nama ilmu ini yaitu ilmu
Tauhid, ilmu Kalam, ilmu Sifat, ilmu Ussuluddin, ilmu ‘Aqidul Iman
2. Tempat ambilannya : yaitu
diterbitkan daripada Qur’an dan Hadits
3. Kandungannya yaitu
mengandung pengetahuan dari hal membahas ketetapan pegangan kepercayaan kepada
Tuhan dan kepada rasul-rasulNya, daripada beberapa simpulan atau ikatan
kepercayaan dengan segala dalil-dalil supaya diperoleh I’tikad yang yakin
(kepercayaan yang putus/Jazam sekira-kira menaikkan perasaan/Zauk untuk beramal
menurut bagaimana kepercayaan itu.
4. Tempat bahasannya atau
Maudu’nya kepada empat tempat:
a. Pada Zat Allah Ta’ala dari
segi sifat-sifat yang wajib padanya, sifat-sifat yang mustahil padaNya dan
sifat-sifat yang harus padaNya.
b. Pada zat rasul-rasul dari
segi sifat-sifat yang wajib padanya, sifat-sifat yang mustahil padanya dan
sifat-sifat yang harus padanya.
c. Pada segala kejadian dari
segi jirim dan jisim dan aradh sekira-kira keadaannya itu jadi petunjuknya dan
dalil bagi wujud yang menjadikan dia.
d. Pada segala pegangan dan
kepercayaan dengan kenyataan yang didengar daripada perkhabaran rasul-rasul
Allah seperti hal-hal surga dan neraka dan hari kiamat.
5. Faedah ilmu ini yaitu dapat
mengenal Tuhan dan percaya akan rasul dan mendapat kebahagian hidup didunia dan
hidup di akhirat yang kekal.
6. Nisbah ilmu ini dengan
lain-lain ilmu, yaitu ilmu ini ialah ilmu yang terbangsa kepada agama islam dan
yang paling utama sekali dalam agama islam.
7. Orang yang menghantarkan
ilmu ini atau mengeluarkannya yaitu, yang pertaala malaikatihi minhum raakitu wa minhum sajidu, artinya, Tuhan tidak memfardukan ma mereka yang menghantarkan
titisan ilmu tauhid dengan mendirikan dalilnya untuk menolak perkataan meraka
yang menyalahi ialah dari pada ulama-ulama yang mashur yaitu Imam Abu Al hasan
Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur At Maturidi tetapi mereka pertama yang menerima
ilmu tauhid daripada Allah Ta’ala ialah nabi Adam alaihissalam, dan yang akhir
sekali Nabi Muhammad SAW.
8. Hukumnya, yaitu fardhu
‘ain bagi tiap-tiap orang yang mukallaf laki-laki atau perempuan mengetahui
sifat-sifat yang wajib, yang mustahil dan yang harus pada Allah Ta’ala dengan
jalan Ijmal atau ringkasan begitu juga bagi rasul-rasul Allah dan dengan jalan
tafsil atau uraian.
9. Kelebihannya yaitu
semulia-mulia dan setinggi-tinggi ilmu daripada ilmu yang lain-lain, karena
menurut haditsnya nabi: Inallahata’ala lam yafrid syai’an afdola minattauhid
wasshalati walaukana syai’an afdola mintu laf tarodohu ‘sesuatu yang
terlebih afdhol daripada mengEsakan Tuhan. Jika ada sesuatu terlebih afdhol
daripadanya niscaya tetaplah telah difardhukan kepada malaikatnya padahal
setengah daripada malaikatnya itu ada yang ruku’ selamanya dan setengah ada
yang sujud selamanya dan juga ilmu tauhid ini jadi asal bagi segala ilmu yang
lain yang wajib diketahui dan lagi karena mulia , yaitu Zat Tuhan dan rasul dan
dari itu maka jadilah maudu’nya semulia-mulia ilmu dalam agama Islam.
10. Kesudahan ilmu ini yaitu
dapat membedakan antara I’tikad dan kepercayaan syah dengan yang batil dan
dapat pula membedakan antara yang menjadikan dengan yang dijadikan atau antara
yang Qadim dengan yang muhadasNya.
[
Ilmu Tauhid ]
Adapun pendahuluan masuk pada
menjalankan ilmu tauhid itu berhimpun atas tiga perkara:
1. Khawas yang lima yaitu,
Pendengar, Penglihat, Pencium, Perasa lidah dan Penjabat
2. Khabar Mutawatir, yaitu
khabar yang turun menurun. Adapun khabar mutawatir itu dua bahagi:
a. Khabar Mutawatir yang
datang daripada lidah orang banyak
b. Khabar Mutawatir yang
datang daripada lidah rasul-rasul
3. Kandungannya yaitu
mengandung pengetahuan dari hal membahas ketetapan pegangan kepercayaan kepada
Tuhan dan kepada rasul-rasulNya, daripada beberapa simpulan atau ikatan kepercayaan
dengan segala dalil-dalil supaya diperoleh I’tikad yang yakin (kepercayaan yang
putus/Jazam sekira-kira menaikkan perasaan/Zauk untuk beramal menurut bagaimana
kepercayaan itu.
Aqal
Adapun ‘Aqal itu dua bahagi :
1. ‘Aqal Nazori, yaitu aqal
yang berkehendak kepada fikir dan keterangan.
2. ‘Aqal Doruri, yaitu aqal
yang tiada berkehendak kepada fikir dan keterangan.
Adapun Hukum ‘Aqal itu tiga
bahagi:
1. Wajib ‘Aqal, yaitu barang
yang tiada diterima oleh aqal akan tiadanya maka wajib adanya (Zat, Sifat dan
Af’al Allah)
2. Mustahil ‘Aqal, yaitu
barang yang tiada diterima oleh aqal akan adanya maka mustahil adanya (Segala
kebalikan daripada sifat yang wajib, sekutu)
3. Harus ‘Aqal, yaitu barang
yang diterima oleh akal akan adanya atau tiadanya (Alam dan segala isinya yang
baharu/diciptakan)
Mumkinun
(Baharu Alam)
Adapun yang wajib bagi ‘Alam
mengandung empat perkara:
1. Jirim, yaitu barang yang
beku bersamaan luar dan dalam seperti, batu, kayu, besi dan tembaga
2. Jisim, yaitu barang yang
hidup memakai nyawa tiada bersamaan luar dalam seperti manusia dan binatang
3. Jauhar Farad, barang yang
tiada boleh dibelah-belah atau dibagi-bagi seperti asap, abu dan kuman yang
halus-halus
4. Jauhar Latief, yaitu Jisim
yang halus seperti ruh, malaikat, jin, syaiton dan nur.
Wajib bagi Jirim, Jisim,
Jauhar Farad dan Jauhar Latief bersifat dengan empat sifat:
1. Tempat, maka wajib baginya
memakai tempat seperti kiri atau kanan, atas atau bawah, hadapan atau belakang
2. Jihat, maka wajib baginya
memakai jihat seperti utara atau selatan, barat atau timur, jauh atau dekat
3. Berhimpun atau bercerai
4. Memakai ‘arad, yaitu gerak
atau diam, besar atau kecil, panjang atau pendek dan memakai rasa seperti manis
atau masam, masam atau tawar dan memakai warna-warna seperti hitam atau putih,
merah atau hijau dan memakai bau-bauan seperti harum atau busuk
Hukum
Adat Thobi’at
Adapun yang wajib bagi hukum
adat Thobi’at yang dilakukan didalam dunia ini sahaja, seperti makan, apabila
makan maka wajib kenyang sekedar yang dimakan begitu juga api apabila bersentuh
dengan kayu yang kering maka wajib terbakar, dan pada benda yang tajam yang
apabila dipotongkan maka wajib putus atau luka.
Dan begitu juga pada air
apabila diminum maka wajib hilang dahaga sekedar yang diminum. Adapun yang
mustahil pada adat Thobi’at itu tiada sekali-kali seperti makan tiada kenyang,
minum tiada hilang dahaga, dipotong dengan benda yang tajam tiada putus atau
luka dan dimasukkan didalam api tiada terbakar. Akan tetapi yang mustahil pada
adat itu sudah berlaku pada nabi Ibrahim as di dalam api tiada terbakar dan
pada nabi Isma’il as dipotong dengan pisau yang tajam diada putus atau luka .
Adapun yang mustahil pada
adat itu jika berlaku pada rasul-rasul dinamakan Mu’jizat, jika berlaku pada
nabi-nabi dinamakan Irhas, jika pada wali-wali dinamakan Karamah, dan jika pada
orang yang ta’at dinamakan Ma’unah dan jika berlaku pada orang kafir atau orang
fasik yaitu ada empat macam:
1. dinamakan Istidraj pada
Johirnya bagus dan hakikat menyalahi
2. dinamakan Kahanah yaitu
pada tukang tenung
3. dinamakan Sa’uzah yaitu
pada tukang sulap mata
4. dinamakan Sihir yaitu pada
tukang sihir
Mohon ampunan dan RedhaMu yaa
Allah,…
Itulah yang telah terdahulu
banyak hamba ungkapkan (terlanjur) di topik-topik yang ada dalam BSC ini, untuk
selanjutnya hamba, Insya Allah, akan memohon izin dahulu kepada Mu’alim hamba,
sebab ada beberapa huraian penting yang hamba wajib meminta izin dahulu pada
beliau, diantaranya: Hukum Syara’, Hakikat Makrifat beserta huraian dalil bagi
Sifat-Sifat yang wajib bagi ‘aqal tentang keTuhanan:
-Sifat Nafsiyah
-Sifat Salbiyah
-Sifat Ma’ani
-Sifat Ma’nawiyah
lalu dibahagi menjadi dua
bahagi:
-Sifat Istighna (28 Aqa’id)
-Sifat Iftikhor (22 Aqa’id)
yang menghasilkan faham
hakikat nafi mengandung isbat, isbat mengandung nafi (50 Aqa’id), lalu
berlanjut pada huraian Sifat-sifat bagi Rasul, ditambah empat perkara rukun
iman (18 Aqa’id), menghasilkan penjelasan aqa’idul iman yang 5 (lima jenis),
aqa’idul iman 50, aqa’idul iman 60, aqa’idul iman 64, aqa’idul iman 66 dan
aqa’idul iman 68.
Baharulah disimpulkan menjadi
4 rukun Syahadat dan adab-adabnya, serta menjelaskan penjelasan zikir, serta
makna asma ALLAH
InsyaAllah….
MA’RIFAT
Adapun hakikat Ma’rifat itu
berhimpun atas tiga perkara:
1. ‘Itikad Jazam, yaitu
‘Itikad yang putus tiada syak, dzon dan waham
2. Muwafikulilhaq, yaitu
Muafakat dengan yang sebenarnya mengikut Al Qur’an dan Hadits
3. Mu’addalil yaitu beserta
dalil
Adapun Dalil itu dua bahagi:
1. Dalil naqal (naqli), yaitu
Al Qur’an dan Hadits.
2. Dalil aqal (aqli), yaitu
aqal kita
Adapun dalil wujud Allah
Ta’ala pada orang awam yaitu Baharu alam seperti firman Allah Ta’ala dalam Al
Qur’an : Allahu khaliqu kullu syai’in, artinya: Allah Ta’ala yang menjadikan
tiap-tiap sesuatu
Adapun Hakikat Ma’rifat orang
yang Khawas :
1. ‘Itikat jazam, tiada syak,
dzon dan waham
2. Muwafakat ilmunya, aqalnya
dan hatinya dengan jalan Ilham Ilahi
3. Dalil pada dirinya,
seperti firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an: wa fii amfusikum afala tubsiruun,
artinya: pada diri kamu tiadakah kamu lihat, dan juga Hadits Rasullullah, Man
arofa nafsahu faqod arofa Robbahu, artinya barang siapa mengenal dirinya
bahwasanya mengenal Tuhannya.
Adapun Hakikat Ma’rifat orang
yang Khawasul khawas:
1. I’tikad jazam, tiada sak,
dzon dan waham
2. Muwafakat Ilmunya, aqalnya
dan hatinya dengan jalan kasaf Ilahi terkaya ia daripada dalil yakni tiada
berkehendak lagi kepada dalil (Aqal dhoruri) terus ia ma’rifat kepada Allah Ta’ala.
Adapun Ma’rifat itu tiga
martabat:
1. Ilmul yaqin, yaitu segala
Ulama
2. ‘Ainul yaqin, yaitu segala
Aulia
3. Haqqul yaqin, yaitu segala
Anbiya
[
SIFAT-SIFAT KETUHANAN ]
Adapun yang wajib bagi
Ketuhanan itu bersifat dengan empat sifat:
1. Sifat Nafsiyah, yaitu
Wujud
2. Sifat Salbiyah yaitu,
Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniat
3. Sifat Ma’ani, yaitu,
Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sami’, Bashir dan Kalam
4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu
Qadirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan Muttaqalimuun
Dibahagi lagi menjadi dua
sifat (Pendekatan secara nafi dan isbat)
1. Sifat Istighna’ yaitu,
Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhulilkhawadits, Qiyamuhu binafsihi, Sami’,
Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan Muttaqallimun
2. Sifat Iftikor, yaitu
Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan Wahdaniah
[
Sifat-Sifat Ketuhanan ]
Adapun yang wajib bagi
Ketuhanan itu bersifat dengan empat sifat:
1. Sifat Nafsiyah, yaitu
Wujud
2. Sifat Salbiyah yaitu,
Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniat
3. Sifat Ma’ani, yaitu,
Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sami’, Bashir dan Kalam
4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu
Qadirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan Muttaqalimuun
Dibahagi lagi menjadi dua
sifat (Pendekatan secara nafi dan isbat)
1. Sifat Istighna’ yaitu,
Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhulilkhawadits, Qiyamuhu binafsihi, Sami’,
Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan Muttaqallimun
2. Sifat Iftikor, yaitu
Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan Wahdaniah
BAHAGIAN
I:
[
Sifat Nafsiyah ]
Wujud, artinya ada, yang ada
itu dzat Allah Ta’ala, lawannya ‘Adum, artinya tiada yaitu mustahil tiada
diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada karena jikalau
Allah Ta’ala itu tiada niscaya tiadalah perobahan pada alam ini. Alam ini
jadilah statis (tak ada masa, rasa dll), dan tiadalah diterima ‘aqal jika semua
itu (perobahan) terjadi dengan sendirinya.
Jikalau alam ini jadi dengan
sendirinya niscaya jadilah bersamaan pada suatu pekerjaan atau berat salah satu
maka sekarang alam ini telah nyata adanya sebagaimana yang kita lihat sekarang
ini dan teratur tersusun segala pekerjaannya maka menerimalah aqal kita wajib
adanya Allah Ta’ala dan mustahil lawannya tiada. Adapun dalilnya yaitu
firmannya dalam Al Qur’an: "Allahu kholiqu kullu syai’in", artinya, Allah Ta’ala jualah
yang menjadikan tiap-tiap sesuatu.
Adapun Wujud itu sifat
Nafsiyah ada itulah dirinya hak Ta’ala. Adapun ta’rif sifat nafsiyah itu: Hiya
huwa wala hiya ghoiruku, artinya, sifat inilah dzat hak Ta’ala, tiada ia lain
daripadanya yakni sifat pada lafadz dzat pada makna.
Adapun Hakikat sifat nafsiyah
itu : Hiya lhalul wajibatu lizzati maadaamati azzatu ghoiru mu’alalahi
bi’illati, artinya: hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu tiada
dikarenakan dengan suatu karena yakni adanya yaitu tiada karena jadi oleh
sesuatu dan tiada Ia terjadi dengan sendirinya dan tiada Ia menjadikan dirinya
sendiri dan tiada Ia berjadi-jadian.
Adapun Wujud itu dikatakan
sifat Nafsiyah karena wujud menunjukkan sebenar-benar dirinya dzat tiada
lainnya dan tiada boleh dipisahkan wujud itu lain daripada dzat seperti sifat
yang lain-lain.
Adapun Wujud itu tiga bahagi:
1. Wujud Haqiqi, yaitu dzat
Allah Ta’ala maka wujud-Nya itu tiada permulaan dan tiada kesudahan maka wujud
itu bersifat Qadimdan Baqa’, inilah wujud sebenarnya,
2. Wujud Mujazi, yaitu dzat
segala makhluk maka wujudnya itu ada permulaan dan ada kesudahan tiada bersifat
Qadim dan Baqa’, sebab wujudnya itu dinamakan wujud Mujazi karena wujudnya itu
bersandarkan Qudrat Iradat Allah Ta’ala,
3. Wujud ‘Ardy, yaitu dzat
‘Arodul wujud maka wujudnya itu ada permulaan dan tiada kesudahan seperti ruh,
syurga, neraka, Arasy, Kursi dan lain-lain.
Adapun yang Mawujud selain
Allah Ta’ala dua bahagi:
1. Mawujud dalam ‘alam
sahadah, yaitu yang di dapat dengan khawas yang lima seperti langit, bumi,
kayu, manusia, binatang dan lain-lain.
2. Mawujud didalam ‘alam ghaib
yang tiada didapat dengan khawas yang lima tetapi didapat dengan nur iman dan
Kasaf kepada siapa-siapa yang dikaruniakan Allah Ta’ala seperti Malaikat, Jin,
Syaitan, Nur dan lain-lain.
Adapun segala yang Mawujud
itu lima bahagi:
1. Mawujud pada Zihin yaitu
ada pada ‘aqal
2. Mawujud pada Kharij yaitu
ada kenyataan bekas
3. Mawujud pada Khayal yaitu
seperti bayang-bayang dalam air atau yang didalam mimpi
4. Mawujud pada Dalil yaitu
ada pada dalil seperti asap tanda ada api
5. Mawujud pada Ma’rifat
yaitu dengan pengenalan yang putus tiada dapat diselingi lagi terus Ia Ma’rifat
kepada Allah Ta’ala
Membicarakan Wujud-Nya dengan
jalan dalil:
1. Dalil yang didapat dari
Khawas yang lima tiada dapat didustakan
2. Dalil yang didapat dari
Khabar Mutawatir tiada dapat didustakan
3. Dalil yang didapat
daripada ‘Aqal tiada dapat didustakan
4. Dalil yang didapat
daripada Rasulullah tiada dapat didustakan
5. Dalil yang didapat
daripada firman Allah Ta’ala tiada dapat didustakan
[
Sifat-Sifat Ketuhanan ]
Adapun yang wajib bagi
Ketuhanan itu bersifat dengan empat sifat:
1. Sifat Nafsiyah, yaitu
Wujud
2. Sifat Salbiyah yaitu,
Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniat
3. Sifat Ma’ani, yaitu,
Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sami’, Bashir dan Kalam
4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu
Qadirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan Muttaqalimuun
Dibahagi lagi menjadi dua
sifat (Pendekatan secara nafi dan isbat)
1. Sifat Istighna’ yaitu,
Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhulilkhawadits, Qiyamuhu binafsihi, Sami’,
Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan Muttaqallimun
2. Sifat Iftikor, yaitu
Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan Wahdaniah
BAHAGIAN
II :
[
Sifat Salbiyah ]
Adapun hakikat sifat Salbiyah
itu: wahiya dallat ‘alallafiy maalaa khaliyqu billahi ‘aza wajalla, artinya
barang yang menunjukkan atas menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak
pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala yaitu lima sifat:
1. QIDAM, artinya Sedia
2. BAQA’ artinya Kekal,
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITS
artinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI,
artinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendiriNya.
5. WAHDANIAH, artinya Esa
1. QIDAM, artinya Sedia: Adapun hakikat Qidam ibarat
dari menafikan ada permulaan bagi Wujud-Nya yakni tiada permulaan, lawannya
Hudusy artinya baharu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali
dikatakan Ia baharu karena jikalau Ia baharu niscaya jadilah Wujud-Nya itu
wujud yang harus, tiadalah Ia wajibal wujud maka sekarang telah terdahulu
wajibal wujud baginya maka menerimalah aqal kita wajib baginya bersifat Qadim
dan mustahil lawannya baharu , adapun dalilnya firmannya dalam Al Qur’an: huwal
awwalu, artinya Ia juga yang awal.
Adapun Qadim nisbah pada nama
empat perkara:
a. Qadim Haqiqi, yaitu dzat
Allah Ta’ala
b. Qadim Sifati, yaitu sifat
Allat Ta’ala
c. Qadim Idofi, yaitu Qadim
yang bersandar seperti dahulu bapa daripada anak
d. Qadim Zamani, yaitu masa
yang telah lalu sekurang-kurangnnya setahun
2. BAQA’ artinya Kekal : Adapun hakikat Baqa’ itu
ibarat menafikan ada kesudahan bagi Wujud-Nya, yakni tiada kesudahan, lawannya
Fana’ artinya binasa yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali
dikatakan Ia binasa, jikalau Ia binasa jadilah Wujud-Nya itu wujud yang baharu,
apabila Ia baharu tiadalah Ia bersifat Qadim maka sekarang telah terdahulu
bagi-Nya wajib bersifat Qadim maka menerimalah aqal kita wajib bagi-Nya
bersifat Baqa dan mustahil lawannya binasa, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al
Qur’an: wayabqo wajhu robbikauzuljalali wal ikrom, artinya kekal dzat Tuhan
kamu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan. Adapun yang Kekal itu dua
bahagi:
a. Kekal Haqiqi, yaitu dzat
dan sifat Allah Ta’ala
b. Kekal Ardy, yaitu kekal
yang dikekalkan, menerima hukum binasa jikalau dibinasakan Allah Ta’ala, karena
ia sebahagian daripada mumkinun, tetapi tiada dibinasakan maka kekallah ia,
maka kekalnya itu dinamakan kekal ‘Ardy, seperti ruh, arasy, kursi, kalam, lauh
mahfudh, surga, neraka, bidadari dan telaga nabi.
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITSI
artinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu : Adapun Hakikat
Mukhalafatuhulilhawadits itu diibaratkan menafikan dzat dan sifat dan af’al
Allah Ta’ala dengan segala sesuatu yang baharu, yakni tiada bersamaan dengan segala
yang baharu, lawannya Mumassalatuhulilhawadits, artinya bersamaan dengan segala
sesuatu yang baharu. Tiada diterima oleh aqal dikatakan Allah Ta’ala itu
bersamaan dzat-Nya dan sifat-Nya dan af’al-Nya dengan segala yang baharu,
karena jikalau bersamaan dengan segala yang baharu maka tiadalah Ia bersifat
Qadim dan Baqa’, sebab segala yang baharu menerima hukum binasa, maka sekarang
telah terdahulu wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Qadim dan Baqa’, maka
menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat
mukhalafatuhulilhawadits, dan mustahil lawannya Mumasalatu lilhawadits, adapun
dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
laisa kamislihi syaiin wa
huwassami’ul bashir, artinya tiada seumpama Allah Ta’ala dengan segala sesuatu
dan Ia mendengar dan melihat.
Adapun bersalahan dzat Allah
Ta’ala dengan dzat yang baharu karena dzat Allah Ta’ala bukan jirim atau jisim
dan bukan jauhar atau ‘aradh dan tiada dijadikan, tiada bertempat, tiada
berjihat, tiada bermasa atau dikandung masa dan tiada beranak atau diperanakkan.
Bersalahan sifat Allah Ta’ala
dengan sifat yang baharu karena sifat Allah Ta’ala Qadim dan ‘Aum takluknya,
seperti Sami’ Allah Ta’ala takluk pada segala yang mawujud.
Adapun sifat yang baharu itu
tiada ia Qadim dan tiada ‘Aum takluknya, tetapi takluk pada setengah perkara
jua seperti yang baharu mendengar ia pada yang berhuruf dan bersuara dan yang
tiada berhuruf dan bersuara tiada ia mendengar atau yang jauh atau yang
tersembunyi seperti gerak-gerak yang dalam hati dan begitu jua sifat-sifat yang
lain tiada serupa dengan sifat Allah Ta’ala.
Adapun bersalahan perbuatan
Allah Ta’ala dengan perbuatan yang baharu karena perbuatan Allah Ta’ala itu
memberi bekas dan tiada dengan alat perkakas dan tiada dengan minta tolong dan
tiada mengambil faedah dan tiada yang sia-sia. Adapun perbuatan yang baharu
tiada memberi bekas dan dengan alat perkakas atau dengan minta tolong dan
mengambil faedah.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI,
artinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya : Adapun hakikat Qiyamuhu
binafsihi itu ibarat daripada menafikan berkehendak kepada tempat berdiri dan
berkehendak kepada yang menjadikan dia, yakni tiada berkehendak kepada tempat
berdiri dan tiada berkehendak kepada yang menjadikannya. Mustahil tiada diterima oleh
aqal sekali-kali dikatakan tiada berdiri dengan sendiriNya, karena Ia zat bukan
sifat, jikalau Ia sifat, maka berkehendak kepada tempat berdiri karena sifat
itu tiada boleh berdiri dengan sendirinya.
Dan tiada berkehendak kepada
yang menjadikan Ia karena Ia Qadim, jikalau berkehendak Ia kepada yang
menjadikan Dia, maka jadilah Ia baharu, apabila ia baharu tiadalah ia bersifat
Qadim dan Baqa’ dan Mukhalafatuhulilhawadits.
Maka sekarang menerimalah
aqal kita, wajib diterima oleh aqal, bagi Allah Ta’ala itu bersifat
Qiyamuhubinafsihi dan mustahil lawannya An-laayakuunu ko’imambinafsihi, adapun
dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Innallaha laghniyyun ‘anil ‘alamiin,
artinya Allah Ta’ala itu terkaya daripada sekalian alam. Adapun segala yang Mawujud
menurut berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang
menjadikan dia itu empat bahagi:
a. Tiada berkehendak kepada
yang menjadikan Dia dan tiada berkehendak kepada tempat berdiri, yaitu zat
Allah Ta’ala
b. Berdiri pada zat Allah
Ta’ala dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia, yaitu sifat Allah
Ta’ala
c. Tiada berkehendak kepada
tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala jirim
yang baharu
d. Berkehendak kepada tempat
berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu segala ‘aradh yang
baharu
5. WAHDANIAH, artinya Esa : Adapun hakikat Wahdaniah itu
ibarat menafikan kammuttasil (berbilang-bilang atau bersusun-susun atau
berhubung-hubung) dan kammumfasil (bercerai-cerai banyak yang serupa) pada zat,
pada sifat, dan pada af’al. Lawannya An-yakunu wahidan,
artinya tiada ia esa. Mustahil tiada diterima oleh akal sekali-kali dikatakan
tiada Ia Esa, karena jikalau tiada Ia Esa tiadalah ada alam ini karena banyak
yang memberi bekas.
Seperti dikatakan ada dua
atau tiga tuhan, kata tuhan yang satu keluarkan matahari dari barat, dan kata
tuhan yang satu lagi keluarkan dari timur, dan kata tuhan yang satu lagi
keluarkan dari utara atau selatan, karena tiga yang memberi bekas. Tentu kalau
tuhan yang satu itu mengeluarkan matahari itu dengan sekehendakknya umpamanya
disebelah barat, tentu pula tuhan yang lain meniadakkannya dan mengadakan lagi
menurut kehendaknya umpamanya disebelah timur atau utara atau selatan, karena
tiga-tiga tuhan itu berkuasa mengadakan dan meniadakan maka kesudahannya
matahari itu tiada keluar.
Maka sekarang kita lihat
dengan mata kepala kita sendiri bagaimana keadaan atau perjalanan didalam alam
ini semuanya teratur dengan baiknya maka menerimalah aqal kita wajib diterima
aqal Wahdaniah bagi Allah Ta’ala dan mustahil lawannya berbilang-bilang atau bercerai-cerai.
Adapun dalilnya firman-Nya
dalam Al Qur’an: Qul huwallahu ahad, artinya katakanlah oleh mu (Muhammad)
Allah Ta’ala itu Esa, yakni Esa zat dan Esa sifat dan Esa Af’al.
Adapun Wahdaniah pada zat
menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil,
yaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun seperti dikatakan zat
Allah Ta’ala itu berdarah, berdaging dan bertulang urat, atau dikatakan zat
Allah Ta’ala itu kejadian daripada anasir yang empat.
b. Menafikan Kammumfasil,
yaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa, umpama
dikatakan ada zat yang lain seperti zat Allah Ta’ala yakni tiada sekali-kali
seperti yang demikian itu.
Maka Kammuttasil dan
Kammumfasil itulah yang hendak kita nafikan pada zat Allah Ta’ala, apabila
sudah kita nafikan yang dua perkara ini maka barulah dikatakan Ahadiyyatuzzat,
yakni Esa dzat Allah Ta’ala.
Adapun Wahdaniah pada sifat
menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil,
yaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun sifat, seperti dikatakan
ada pada Allah Ta’ala dua Qudrat atau dua Ilmu atau dua Sami’ yakni tiada
sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil,
yaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa seperti
dikatakan ada Qudrat yang lain atau Ilmu yang lain seperti Qudrat dan Ilmu
Allah Ta’ala.
Maka Kammuttasil dan
Kammumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada sifat Allah Ta’ala, apabila
sudah kita nafikan yang dua itu maka baharulah dikatakan Ahadiyyatussifat,
yakni Esa sifat Allah Ta’ala.
Adapun Wahdaniah pada af’al
menafikan dua perkara:
a. Menafikan Kammuttasil,
yaitu menafikan berhubung atau minta tolong memperbuat suatu perbuatan, seperti
dikatakan Allah Ta’ala jadikan kuat pada nasi mengenyangkan dan kuat pada air
menghilangkan dahaga dan kuat pada api membakar dan kuat pada tajam memutuskan
yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil,
yaitu menafikan bercerai-cerai banyak perbuatan yang memberi bekas, seperti
dikatakan ada perbuatan yang lain memberi bekas seperti perbuatan Allah Ta’ala,
yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
Maka Kammuttasil dan
Kammumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada af’al Allah Ta’ala, apabila
sudah kita nafikan yang dua ini maka baharulah kita dikatakan Ahadiyyatull af’al,
yakni Esa perbuatan Allah Ta’ala.
BAHAGIAN
III :
[
Sifat Ma’ani ]
Adapun hakikat sifat Ma’ani
itu: wahiya kullu sifatu maujudatun qo’imatun bimaujuudatun aujabat lahu
hukman, artinya tiap-tiap sifat yang berdiri pada yang maujud (wajibalwujud /
zat Allah Ta’ala) maka mewajibkan suatu hukum (yaitu Ma’nawiyah). Sifat Ma’ani ini maujud pada
zihin dan maujud pula pada kharij, ada tujuh perkara:
1. QUDRAT artinya Kuasa,
Takluk pada segala mumkinun
2. IRADAT artinya Menentukan,
takluk pada segala mumkinun
3. ILMU artinya Mengetahui,
takluk pada segala yang wajib, mustahil dan ja’iz bagi aqal.
4. HAYAT artinya Hidup, tiada
takluk, tetapi syarat bagi aqal kita menerima adanya sifat-sifat yang lain.
5. SAMA’ artinya Mendengar,
takluk pada segala yang maujud.
6. BASYAR artinya Melihat,
takluk pada segala yang maujud.
7. KALAM artinya Berkata-kata
1. Qudrat artinya Kuasa : Adapun hakikat Qudrat itu
yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah
Ta’ala, maka dengan Dia mengadakan dan meniadakan bagi segala mumkin muafakat
dengan Iradat-Nya. Adapun arti mumkin itu barang yang harus adanya atau
tiadanya. Adapun mumkin itu empat
bahagi:
a. Mumkin Maujuud ba’dal
‘adum, yaitu mumkin yang pada masa sekarang, dahulu tiada, seperti: langit,
bumi dan kita semuanya.
b. Mumkin Ma’dum ba’dal
wujud, yaitu mumkin yang tiada pada masa sekarang ini dahulunya ada, seperti:
nabi Adam as, dan datok-datok nenek kita yang sudah tiada.
c. Mumkin sayuzad, yaitu
mumkin yang akan datang seperti hari kiamat, syurga dan neraka.
d. Mumkin Ilmu Allah annahu
lamyujad, yaitu mumkin yang didalam Ilmu Allah Ta’ala, tetapi tiada dijadikan
seperti hujan emas, Air laut rasanya manis, dan banyak yang lain lagi.
Lawannya ‘Ujdzun artinya
lemah, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah
Ta’ala itu lemah, karena jikalau Ia lemah niscaya tiadalah ada alam ini karena
yang lemah itu tiada dapat memperbuat suatu perbuatan. Maka sekarang alam ini
telah nyata adanya bagaimana yang kita lihat sekarang ini, maka menerimalah
aqal kita wajib diterima aqal, bagi-Nya bersifat Qudrat dan mustahil lawannya
‘Ujdzun.
Adapun dalilnya firman-Nya
dalam Al Qur’an: wallahu ‘ala kulli sai’in-qodir, artinya Allah Ta’ala itu
berkuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Qudrat
itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan
apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al
Allah Ta’ala.
* Qudrat Allah Ta’ala Qadim
atau sedia, tiada diawali dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala Baqa’
atau Kekal, tiada diakhiri dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu
Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari
sekalian misal.
* Qudrat Allah Ta’ala itu
Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada
sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu
Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada
kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
2. Iradat artinya Menentukan : Adapun hakikat Iradat itu
satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka
dengan Dia menentukan sekalian mumkin adanya atau tiadanya,muafakat dengan
Ilmu-Nya. Adapun Iradat Allah Ta’ala
menentukan enam perkara:
a. Menentukan mumkin itu Ada
atau tiadanya
b. Menentukan Tempat mumkin
itu
c. Menentukan Jihat mumkin
itu
d. Menentukan Sifat mumkin
itu
e. Menentukan Qadar mumkin
itu
f. Menentukan Masa mumkin itu
Lawannya Karahat artinya
tiada menentukan atau tiada berkehendak, yaitu mustahil tiada diterima oleh
aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada menentukan atau tiada
berkehendak, karena jikalau tiada Ia menentukan atau tiada Ia berkehendak
mengadakan alam ini atau meniadakan alam ini niscaya tiadalah baharu (Berubah) alam
ini maka sekarang alam ini telah nyata adanya perubahan, ada siang ada malam,
ada yang datang ada yang pergi, seperti yang telah kita lihat dengan mata
kepala kita sendiri, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala
bersifat Iradat dan mustahil lawannya Karahat.
Adapun dalilnya firman-Nya
dalam Al Qur’an: fa’allu limaa yuriy d’, artinya berbuat Allah Ta’ala dengan
barang yang ditentukan-Nya.
Adapun Iradat dengan amar dan
nahi itu tiada berlazim karena: Ada kalanya disuruh tetapi
tiada dikehendaki seperti Abu jahal, Abu lahab dan segala pengikutnya. Ada kalanya disuruh dan
dikehendaki seperti Abu Baqa’r dan segala sahabat yang lain. Ada kalanya tiada disuruh dan
tiada dikehendaki seperti kafir yang banyak. Adakalanya tiada disuruh
tetapi dikehendaki seperti mengerjakan yang haram dan makruh seperti Nabi Adam
as dan Hawa.
Tetaplah dalam Hakikat Iradat
itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan
apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al
Allah Ta’ala.
* Iradat Allah Ta’ala Qadim
atau sedia, tiada diawali dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala Baqa’
atau Kekal, tiada diakhiri dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala itu
Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari
sekalian misal.
* Iradat Allah Ta’ala itu
Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada
sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
* Iradat Allah Ta’ala itu
Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada
kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
3. Ilmu artinya Mengetahui : Adapun hakikat Ilmu itu yaitu
satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka
dengan Dia Mengetahui pada yang wajib, pada yang mustahil, dan pada yang harus. Adapun yang wajib itu zat dan
sifatNya, maka mengetahui Ia zatNya dan sifatNya yang Kamalat.
Adapun yang mustahil itu
yaitu yang menyekutui ketuhanannya atau yang kekurangan baginya maka mengetahui
Ia tiada yang menyekutui bagi ketuhanan-Nya dan yang kekurangan pada-Nya.
Adapun yang harus itu
sekalian alam ini maka mengetahui Ia segala perkara yang ada pada masa sekarang
ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi
dan tiada terdinding yang dalam Ilmu-Nya sebesar jarah jua pun, semuanya
diketahui-Nya dengan Ilmu-Nya yang Qadim.
Lawannya Jahil, artinya
bodoh, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia Jahil
atau bodoh karena jikalau ia Jahil atau bodoh niscaya tiadalah teratur atau
tersusun segala pekerjaan didalam alam ini maka sekarang alam ini telah teratur
dan tersusun dengan baiknya, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala
bersifat Ilmu dan mustahil lawannya Jahil atau bodoh.
Adapun dalilnya firman-Nya
dalam Al Qur’an: wallahu bikulli syai’in ‘alimun, artinya Allah Ta’ala
mengetahui tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Ilmu
itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan
apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al
Allah Ta’ala.
* Ilmu Allah Ta’ala Qadim
atau sedia, tiada diawali dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala Baqa’
atau Kekal, tiada diakhiri dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala itu
Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari
sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Ilmu Allah Ta’ala itu
Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada
sesuatu.
* Ilmu Allah Ta’ala itu
Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada
kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
4. Hayat artinya Hidup : Adapun hakikat Hayat itu satu
sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka
dengan Dia zohirlah sifat yang lain-lain.
Lawannya maut artinya mati,
yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia mati karena
jikalau Ia mati niscaya tiadalah ada sifat yang lain seperti Qudrat, Iradat dan
Ilmu maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat hayat dan
mustahil lawannya maut.
Adapun dalilnya firman-Nya
dalam Al Qur’an: huwal hayyuladzii laa yamuut, artinya Dia yang Hidup yang
tiada mati.
Tetaplah dalam Hakikat Hayat
itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan
apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al
Allah Ta’ala.
* Hayat Allah Ta’ala Qadim
atau sedia, tiada diawali dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala Baqa’
atau Kekal, tiada diakhiri dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala itu
Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari
sekalian misal.
* Hayat Allah Ta’ala itu
Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada
sesuatu.
* Hayat Allah Ta’ala itu
Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada
kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain)
5. Sami’ artinya Mendengar : Adapun hakikat Sami’ itu
yaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah
Ta’ala, maka dengan Dia mendengar segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu
Qadim atau Muhadas.
Adapun mawujud yang Qadim
yaitu dzat dan Sifat-Nya, maka mendengar Ia akan Kalam-Nya yang tiada berhuruf
dan bersuara, dan yang muhadas yaitu sekalian alam ini maka mendengar Ia akan
segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada
dan segala perkara yang akan diadakan lagi, maka tiada terdinding
pendengarannya oleh sebab jauh atau tersembunyi.
Lawannya Sumum, artinya pekak
atau tuli yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia
pekak atau tuli karena jikalau Ia pekak atau tuli niscaya tiadalah dapat Ia
memperkenankan seruan makhluk-Nya padahal Menyuruh Ia kepada sekalian
makhluk-Nya dengan meminta seperti firman-Nya dalam Al Qur’an: ud’uunii astajib
lakum, artinya mintalah olehmu kepadaKu niscaya Aku perkenankan.
Maka menerimalah aqal kita
wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Sami’ dan mustahil lawannya Sumum, pekak atau
tuli, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu sami’un ‘alimun,
artinya Allah Ta’ala itu yang mendengar dan yang mengetahui .
Tetaplah dalam Hakikat Sami’
itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan
apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al
Allah Ta’ala.
* Sami’ Allah Ta’ala Qadim
atau sedia, tiada diawali dengan pekak.
* Sami’ Allah Ta’ala Baqa’
atau Kekal, tiada diakhiri dengan pekak.
* Sami’ Allah Ta’ala itu
Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari
sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Sami’ Allah Ta’ala itu
Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada
sesuatu.
* Sami’ Allah Ta’ala itu
Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada
kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
6. Bashir artinya Melihat : Adapun hakikat Bashir itu
satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka
dengan Dia melihat segala yang mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim atau
muhadas.
Adapun mawujud yang Qadim itu
dzat dan sifat-Nya, maka melihat Ia akan dzat-Nya yang tiada berupa dan
berwarna dan sifat-Nya yang kamalat.
Adapun mawujud yang muhadas
itu sekalian alam ini maka melihat Ia akan segala perkara yang ada pada masa
sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang lagi akan
diadakan.
Tiada terdinding yang pada
penglihatan-Nya oleh sebab jauh atau sangat halusnya atau sangat kelamnya.
Lawannya ‘Umyun, artinya
buta, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia buta
karena jikalau Ia buta maka jadilah Ia kekurangan. Maka menerimalah aqal kita
wajib bagi Allah Taa’la itu bersifat Bashir dan mustahil lawannya ‘Umyun atau
buta.
Adapun dalilnya firman-Nya
dalam AlQur’an: wallahu bashirun bimaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala itu
melihat apa yang kamu kerjakan.
Tetaplah dalam Hakikat Bashir
itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan
apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al
Allah Ta’ala.
* Bashir Allah Ta’ala Qadim
atau sedia, tiada diawali dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala Baqa’
atau Kekal, tiada diakhiri dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala itu
Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari
sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Bashir Allah Ta’ala itu
Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada
sesuatu.
* Bashir Allah Ta’ala itu
Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada
kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
7. Kalam artinya Berkata-kata : Adapun hakikat Kalam itu satu
sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka
dengan Dia berkata-kata pada yang wajib seperti firman-Nya: fa’lam annahu
laailahaillalah, artinya ketahui oleh mu bahwasanya tiada tuhan melainkan Allah,
dan berkata-kata pada yang mustahil dengan firman-Nya: laukana fiyhima alihatun
illallah lafasadatu, artinya jikalau ada tuhan yang lain selain daripada Allah
maka binasalah segala-galanya. dan berkata pada yang harus dengan firman-Nya:
wallahu holaqokum wamaa ta’maluun, artinya Allah Ta’ala jua Yang menjadikan
kamu dan barang perbuatan kamu.
Lawannya Bukmum, artinya kelu
atau bisu yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia bisu
atau kelu karena jikalau Ia bisu atau Kelu tiadalah dapat Ia menyuruh atau
mencegah dan menceritakan segala perkara seperti hari kiamat, syurga, neraka
dan lain-lain. Maka sekarang suruh dan cegah itu ada pada kita seperti suruh
kita sembahyang dan cegah kita berbuat ma’siat. Maka menerimalah aqal kita
wajib bagi Allah Ta’ala itu bersifat Kalam dan mustahil lawannya bukmum, kelu
atau bisu. Adapun dalilnya friman-Nya dalam Al Qur’an: wa kallamallaahu muusa
taqlimaan, artinya berkata-kata Allah Ta’ala dengan nabi Musa as dengan
sempurna kata.
Adapun Kalam Allah Ta’ala itu
satu sifat jua tiada Ia berbilang tetapi berbagi-bagi dipandang dari segi
perkara yang dikatakan-Nya apabila Ia menunjukkan kepada suruh maka dinamakan
amar seperti suruh sembahyang dan puasa dan lain-lain, jika Ia menunjukkannya
kepada cegah atau larangan maka dinamakan nahi seperti cegah berjudi., minum
arak dan lain-lain, jika Ia menunjukkan pada cerita dinamakan akhbar, seperti
cerita raja Fir’aun , Namrudz, dan lain-lain. jika Ia menunjukkan pada khabar
gembira dinamakan Wa’ad seperti balas syurga pada orang beriman dan ta’at dan
lian-lain, jika Ia menunjukkan pada khabar menakutkan maka dinamakan Wa’id,
seperti janji balas neraka dan azab bagi orang yang berbuat maksiat dan kafir.
Tetaplah dalam Hakikat Kalam
itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan
apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al
Allah Ta’ala.
* Kalam Allah Ta’ala Qadim
atau sedia, tiada diawali dengan kelu.
* Kalam Allah Ta’ala Baqa’
atau Kekal, tiada diakhiri dengan kelu.
* Kalam Allah Ta’ala itu
Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari
sekalian misal, tiada terdinding dan tiada berhuruf atau bersuara.
* Kalam Allah Ta’ala itu
Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada
sesuatu.
* Kalam Allah Ta’ala itu
Wahdaniyah, atau Esa, tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada
kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).
BAHAGIAN
IV:
[
Sifat Ma’nawiyah ]
Adapun hakikat sifat
ma’nawiyah itu: hiyal halul wajibatu lidzati madaamati lidzati mu’allalati
bi’illati, artinya hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu dikarenakan
suatu karena yaitu Ma’ani, umpama berdiri sifat Qudrat pada dzat maka baru
dinamakan dzat itu Qadirun, artinya Yang Kuasa, Qudrat sifat Ma’ani, Qadirun
sifat Ma’nawiah maka berlazim-lazim antar sifat Ma’ani dengan sifat Ma’nawiah,
tiada boleh bercerai yaitu tujuh sifat pula:
1. QADIRUN, artinya Yang
Kuasa, melazimkan Qudrat berdiri pada dzat
2. MURIIDUN, artinya Yang
Menentukan maka melazimkan Iradat yang berdiri pada dzat
3. ‘ALIMUN, artinya Yang
Mengetahui maka melazimkan ‘Ilmu yang berdiri pada dzat
4. HAYYUN, artinya Yang Hidup
melazimkan Hayyat yang berdiri pada dzat
5. SAMI’UN, artinya Yang
Mendengar melazimkan Sami’ yang berdiri pada dzat
6. BASIRUN, artinya Yang
Melihat melazimkan Basir yang berdiri pada dzat
7. MUTTAKALLIMUN, artinya
Yang Berkata-kata melazimkan Kalam yang berdiri pada dzat
BAHAGIAN
V :
[
Sifat Istighna ]
Artinya sifat Kaya, Hakikat
sifat Istighna: mustaghniyun ’angkullu maa siwahu, artinya Kaya Allah Ta’ala
itu daripada tiap-tiap yang lain.
Apabila dikatakan Kaya Allah
Ta’ala daripada tiap-tiap yang lain, maka wajib bagi-Nya bersifat dengan
sebelas (11) sifat, jikalau kurang salah satu daripada sebelas (11) sifat itu
maka tiadalah dapat dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang
lainnya.
Adapun sifat wajib yang 11
itu ialah: Wujud, Qidam, Baqa’,
Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Kiyamuhubinafsihi, Sami’, Basir, Kalam, Sami’un,
Basirun dan Muttakalimun.
Selain sebelas (11) sifat
yang wajib itu ada tiga (3) sifat yang harus (Jaiz) yang termasuk pada sifat
Istighna yaitu:
1. Mahasuci dari pada
mengambil faedah pada perbuatan-Nya atau pada hukum-Nya, lawannya mengambil
faedah, yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau
mengambil faedah tiadalah Kaya Ia daripada tiap-tiap yang lainnya karena lazim
diwaktu itu berkehendak Ia pada menghasilkan hajat-Nya.
2. Tiada wajib Ia menjadikan
alam ini. Lawannya wajib yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali
karena jikalau wajib Ia menjadikan alam ini tiadalah Ia Kaya daripada tiap-tiap
yang lainnya, karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia kepada yang
menyempurnakan-Nya.
3. Tiada memberi bekas suatu
daripada kainat-Nya dengan kuatnya. Lawannya memberi bekas yaitu mustahil tiada
diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau memberi sesuatu daripada
kainat-Nya dengan kuatnya tiadalah Kaya Ia pada tiap-tiap yang lainnya karena
lazim diwaktu itu berkehendak Ia mengadakan sesuatu dengan wasitoh.
BAHAGIAN
VI :
[
Sifat Ifthikhor ]
Artinya sifat berkehendak:
hakikat sifat Ifthikhor: wamuftaqirun ilaihi kullu maa ’adaahu, artinya
berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya. Apabila dikatakan berkehendak
tiap-tiap yang lain kepada-Nya maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sembilan (9)
sifat, jikalau kurang salah satu daripada sembilan (9) sifat ini maka tiadalah
dapat berkehendak tiap-tiap yang lainya kepada-Nya. Adapun sifat wajib yang
sembilan (9) itu adalah:
1. Qudrat
2. Iradat
3. Ilmu
4. Hayat
5. Qodirun
6. Muridun
7. ‘Alimun
8. Hayyun
9. Wahdaniah
Selain dari sembilan (9)
sifat yang wajib itu ada dua (2) sifat yang harus termasuk pada sifat
Ifthikhor:
1. Baharu sekalian alam ini.
Lawannya Qodim yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena
jikalau alam ini Qodim tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya
karena lajim ketika itu bersamaan derejat-Nya.
2. Tiada memberi bekas
sesuatu daripada kainatnya dengan tobi’at atau dzatnya. Lawannya memberi bekas
yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali karena jikalau memberi
bekas sesuatu daripada kainat dengan tobi’at niscaya tiadalah berkehendak
tiap-tiap yang lain kepada-Nya karena lajim ketika itu terkaya sesuatu
daripadaNya.
Maka sekarang telah nyata
pada kita bahwa duapuluh delapan (28) sifat Istighna dan duapuluh dua (22)
sifat Ifthikhar maka jumlahnya jadi limapuluh (50) ‘akaid yang terkandung
didalam kalimah laa ilaha ilallaah, maka jadilah makna hakikat laa ilaha
ilallaah itu dua: laa mustaghniyun angkullu maasiwahu, artinya tiada yang kaya
dari tiap-tiap yang lainnya dan wa muftaqirun ilaihi kullu ma’adahu, artinya
dan berkehendak tiap-tiap yang lain kepadaNya.
Ini makna yang pertama maka
daripada makna yang dua itu maka jadi empat (4):
1. Wajibal wujud, yaitu yang
wajib adanya.
2. Ishiqoqul ibadah, yaitu
yang mustahak bagi-Nya ibadah
3. Kholikul ‘alam, yaitu yang
menjadikan sekalian alam
4. Maghbudun bihaqqi, yaitu
yang disembah dengan sebenar-benarnya.
Ini makna yang kedua maka
daripada makna yang empat (4) itu jadi satu (1) yaitu:
Laa ilaha ilallaah, Laa
ma’budun ilallah, artinya tiada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya melainkan
Allah.
Ini makna yang ketiga
penghabisan maka jadilah kalimah laa ilaha ilallaah itu menghimpun nafi dan
isbat.
Adapun yang dinafikan itu
sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor berdiri pada yang lain dengan mengatakan:
laa ilaha dan diisbatkan sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor itu berdiri pada
dzat Allah Ta’ala dengan mengatakan kalimah Ilallaah.
Laa = nafi, Ilaha = menafi,
ila = isbat, Allah = meng-isbat.
Yang kedua kalimah laa ilaha
ilallaah itu nafi mengandung isbat dan isbat mengandung nafi sepeti sabda nabi
: laa yufarriqubainannafi wal-isbati wamamfarroqu bainahumaa fahuwa kaafirun,
artinya Tiada bercerai antara nafi dan isbat dan barang siapa menceraikan
kafir.
Seperti asap dengan api. Asap
itu bukan api dan asap itu tidak lain daripada api. Asap tetap asap dan api
tetap api: tetapi asap itu menunjukkan ada api inilah artinya nafi mengandung
isbat dan isbat mengandung nafi. Tiada bercerai dan tiada bersekutu.
[
AQAI’DUL IMAN ]
Adapun Aqa’idul Iman itu lima
bahagi:
1. Aqa’idul Iman 50, yaitu
dengan ringkas untuk mengesahkan iman kita dan wajib diketahui bagi tiap-tiap
orang islam yang baligh lagi beraqal laki-laki atau perempuan yang mula hendak
mengerjakan ibadah kepada Allah Ta’ala, jikalau tiada kita mengetahui Aqa’idul
Iman yang ringkas ini maka tiadalah syah ibadah kita kepada Allah Ta’ala yaitu
20 sifat yang wajib dan 20 sifat yang mustahil dan 1 sifat yang harus maka
dijumlahkan jadi 41 dan 4 sifat yang wajib bagi rasul dn 4 sifat pula yang
mustahil dan 1 sifat yang harus pada rasul maka jadi 9, maka dijumlahkan dengan
41, jadi 50 Aqa’id.
2. Aqa’idul Iman 60
3. Aqa’idul Iman 64
4. Aqa’idul Iman 66
5. Aqa’idul Iman 68
Adapun Aqa’idul Iman yang
empat (4) kemudian ini untuk ma’rifat yaitu untuk membedakan dzat Allah Ta’ala
dengan dzat yang baharu, dan membedakan sifat Allah Ta’ala dengan sifat yang
baharu dan membedakan perbuatan Allah Ta’ala dengan perbuatan yang baharu, maka
kesemuanya itu benar, hanya perselisihannya pada Rukun Iman sahaja, setengahnya
tiada dimasukkan Rukun Iman yang 4 perkara, maka jadi 60, setengahnya
dimasukkan Rukun Iman tetapi tiada dimasukkan lawannya, maka jadi 64, dan
setengahnya dimasukkan Rukun Iman yang 4 perkara dan lawannya , maka jadilah 68
dan yang 66 tiada masyhur sebab tiada dimasukkan satu (1) sifat yang wajib bagi
Rasul dan lawannya maka inilah sebab menjadi 66.
Maka baharulah jadi Syahadat
itu dua (2) bahagi:
1. Syahadat Tauhid, yaitu
Ashadu anllaa ilaha ilallah
2. Syahadat Rasul, yaitu
Ashadu ana muhammadarrasuulullaah
Adapun Fardhu Syahadat itu
dua perkara:
1. Diikrarkan dua kalimah itu
dengan lidah
2. Ditasdiqkan makna itu
kedalam hati
Syarat Syahadat itu empat
perkara:
1. Diketahui apa isi didalam
dua kalimah itu
2. Diikrarkan dua kalimah itu
dengan lidah
3. Ditasdiqkan maknanya itu
kedalam hati
4. Diyakinkan sungguh-sungguh
didalam hati
Rukun Syahadat itu empat
perkara:
1. Mengisbatkan dzat Allah
Ta’ala dzat yang wajibal wujud
2. Mengisbatkan sifat Allah
Ta’ala sifat yang kamalat atau sifat yang kesempurnaan
3. Mengisbatkan af’al Allah
Ta’ala memberi bekas dan yang berlaku dalam alam ini semua perbuatannya
4. Mengisbatkan kebenaran
Rasulullah dan Muhammad itu benar-benar pesuruh Allah
Kesempurnaan Syahadat itu
empat (4) perkara:
1. Diketahui
2. Diikrarkan dengan lidah
3. Ditasdiqkan maknanya
didalam hati
4. Diamalkan dari dalam hati
hingga melimpah keseluruh anggota
Yang Membinasakan Syahadat
itu empat (4) perkara:
1. Syak hatinya pada Allah
Ta’ala
2. Menduakan Allah Ta’ala
3. Menyangkal dirinya
dijadikan Allah Ta’ala
4. Tiada mengisbatkan dzat,
sifat dan af’al Allah Ta’ala dan kebenaran Rasul
Adapun dzikir itu tiga (3)
bahagian:
1. Dzikir lidah yaitu: Laa
ilaha ilallah
2. Dzikir hati yaitu: AllahU
3. Dzikir sirr yaitu: Huwa
Adapun Laa ilaha ilallaah
dzikir orang Syari’at
Adapun Allahu… Allahu… dzikir
orang Tarikat
Adapun Huwa… Huwa… dzikir
orang Hakikat
Laa ilaha ilallaah itu
makanan Jasmani
Allahu… Allahu… itu makanan
Qalbu
Huwa… Huwa… itu makanan
Ruhani
ALLAH : Alif = Dzat, Lam = Sifat, Lam = Af’al, Ha = Asma’
bersambung...
Suka baca penulisan blog ni..tqvm atas perkongsian..
ReplyDeleteMohon Tuan tukar warna tulisan dalam Tajuk Perihal Sifat 20 ini..
Tulisan warna kuning kurang jelas dan sukar untuk dibaca..
Terima kasih banyak..
Semoga mendapat keredhaanNya.. Aamiin